Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 05 Februari 2011

Nasib Petani di Musim Panen padi

Oleh:  Dr Dedi Sufyadi

NASIB petani di era yang sedang berubah ini sungguh memprihatinkan. Eksistensi petani sebagai profesi semakin menghilang dari peredaran. Petani menjerit tampaknya sudah menjadi berita klise di media massa. Berita di media melansir musim hujan telah membuat harga daun tembakau melorot jatuh. Petani merugi dan mereka kembali menjerit. Nasibnya semakin terpinggirkan saja.
Lain lagi berita panen padi bukannya menggembirakan. Petani di musim panen padi sering kali dihadapkan pada beragam masalah, meliputi harga gabah di tingkat petani yang semakin merosot, biaya produksi yang tetap tinggi; dan kuatnya peran tengkulak serta masih lemahnya kepedulian dari pemerintah dalam pemecahan masalah tersebut.
Memang, kebanyakan petani kita konvensional. Bila tak ada kepedulian dari pemerintah, nasib mereka akan selalu sial. Nasib mereka berubah hanya jika ada perhatian dari pemerintah. Tak ada kata lain, pemerintah harus punya kemauan dan kemampuan guna memperbaiki nasib petani kita.
Sebenarnya ada masalah mendasar dalam pembangunan pertanian kita yang sulit sekali pemecahannya yaitu, masalah aset dan masalah kelembagaan. Kita tahu aset satu-satu nya bagi keberhasilan bertani adalah lahan. Kenyataannya lahan eksisitensinya kian terancam. Pertambahan jumlah penduduk dan proses transformasi ekonomi telah membuat lahan semakin sempit saja baik secara total maupun secara individual. Begitu halnya lembaga satu-satunya yang bernama KUD kian merana saja. KUD sekarang ini sedang kehilangan arah sampai mau ngurus listrik segala.
Saya pikir selama pemerintah belum serius menggarap masalah mendasar tadi, tentunya masalah klise di kala musim panen tiba akan selalu muncul. Dengan demikian untuk keberhasilan pembangunan pertanian itu betapa pentingnya komitmen masyarakat dibangun. Masyarakat perlu menghargai profesi petani dan menghargai hasil pertanian negeri sendiri.
Bicara tentang biaya produksi tinggi, tentunya tidak sekedar bicara soal harganya yang tak mau turun tapi menyangkut soal ketersediaannya yang semakin susut. Di luar sorotan, air pertanian baik kualitas dan kuantitasnya cenderung turun. Air tengah berubah dari barang sosial ke barang ekonomi. Kenyataan pun menunjukkan bahwa air pertanian menduduki prioritas kedua setelah air minum.
Harga gabah anjlok ketika musim panen padi tiba tampaknya sudah bukan berita aneh. Hal ini merupakan konsekuensi dari dinamika hukum permintaan dan penawaran. Pola tanam serempak merupakan biang keladinya. Petani yang menanam, petani pulalah yang menuai bencana. Siapa yang untung, tentunya para tengkulaklah orangnya.
Memang, para tengkulak di kala musim panen padi gentayangan di pedesaan. Para tengkulak itu punya peran ganda. Di mata petani, tengkulak itu dianggap pahlawan karena berjasa dalam mengatasi kesulitan finansial. Sebalik nya dari kaca mata pembangunan pertanian, kehadiran para tengkulak di pedesaan itu sungguh menyakitkan. Balak genep pun terjadi ketika para tengkulak ngagalaksak, perhatian pemerintah melemah. Harapan petani untuk dapat menjual hasil keringatnya secara wajar pun akhir nya menjadi sirna.
Di era swastanisasi ini, saya tak merasa heran melihat peran pemerintah melemah. Sekarang ini banyak badan pemerintah berganti baju menjadi perusahaan umum. Tak terkecuali badan pemerintah yang bernama Bulog sekarang ini menjadi Perum. Padahal Bulog itu sangat diharapkan sebagai alat pemerintah guna memproteksi para petani. Tak hanya itu sepertinya pemerintah semakin tak peduli pada koperasi. Padahal sekarang ini banyak KUD yang mau mati.
Tumbuhnya kesadaran masyarakat dan kepedulian pemerintah begitu ditunggu. Masyarakat dan pemerintah perlu bekerjasama dalam membela petani. Sudah saatnya masyarakat dapat menghargai hasil karya petani dan pemerintah mampu membuat kebijakan yang berpihak kepada kepentingan petani ini.
Anjloknya harga gabah pada setiap musim panen mesti diakui sangat merusak ekologi sawah. Kemampuan lahan sawah sebagai penggerak ekonomi pedesaan semakin lemah. Dengan demikian nyatalah kerusakan ekologi sawah itu tidak hanya dalam bentuk rusaknya irigasi dan atau rusaknya jalan semata tapi juga dalam bentuk rusaknya harga gabah di tingkat petani akibat serbuan para tengkulak.
Nasib petani di musim panen padi merupakan catatan berharga bagi Menteri Pertanian kita. Betapa sangat tidak ada artinya itu yang namanya swasembada beras, seandainya harga gabah setiap musim panen padi malah anjlog. Maksud saya program swasembada beras haruslah dibarengi oleh meningkatnya kesejahteraan petani. Kegembiraan petani bukan malah yang muncul jeritan petani.
Saya punya catatan tersendiri bahwa revitalisasi pertanian akan berhasil dengan baik jika para petani ditempatkan sebaga subjek pembangunan. Ini merupakan tantangan bagi kepala daerah untuk mampu mengenal, bersahabat dan menyatu dengan petani. Maksud saya, tidak usah kepala daerah itu langsung mendatangi petani, tapi beliau mau dan mampu mendayagunakan para penyuluh pertanian lapangan yang sudah diamanahi untuk dapat membina para petani selama ini.
Semoga sajalah pemerintah lebih peduli terhadap pembangunan pertanian dan pengembangan koperasi. Pembangunan pertanian dan pembangunan koperasi harus lah menjadi komitmen Bangsa ini. Wallahu’alam.
Penulis adalah dosen Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya

0 komentar: